Friday, April 18, 2025

Rumah Adat di Papua


Keunikan budaya Papua tidak hanya terletak pada pakaian adatnya. Rumah adat asli Papua juga memiliki keunikan tersendiri. Sama ciri khasnya, bahan rumah adat Papua didominasi oleh bahan-bahan dari alam sehingga dipastikan ramah lingkungan. 

Rumah adat Papua memiliki keunikan yang sangat mudah untuk dikenal. Terbuat dari bahan-bahan alam, keberadaan rumah ini tidak mengganggu keseimbangan alam. Justru sebaliknya, rumah adat Papua pada umumnya ramah lingkungan. Keasrian dan kealamian rumah adat daerah paling timur Indonesia tersebut memberikan kesan tradisional yang menentramkan.


1. Rumah Honai.


Siapa yang tidak kenal dengan rumah ini? Di Papua, seluruh Indonesia, sudah tidak asing lagi dengan rumah Honai yang merupakan rumah adat Papua. Rumah ada Papua satu ini merupakan yang paling dikenal dan paling sering dijadikan “duta” rumah adat Papua.

Jika ditinjau dari segi bahasa, penamaan rumah ini terdiri dari dua kata. Hun berarti laki-laki dewasa dan Ai artinya rumah. Sehingga rumah Honai merupakan rumah yang diperuntukkan untuk laki-laki dewasa. Dengan demikian, sebenarnya rumah Honai ini dikhususkan untuk para laki-laki saja.

Rumah ini akan banyak Anda temukan di lembah dan pegunungan bagian tengah Papua dan oleh penduduk lokal sekitar, rumah ini masih dijadikan tempat tinggal hingga saat ini. Suku Dani merupakan suku yang paling banyak tinggal di dalam rumah ini.

Dinding rumah ini berbentuk melingkar dan terbuat dari kayu kokoh yang disusun berdiri. Kayu tersebut diruncingkan salah satu ujungnya lalu ditancapkan ke dalam tanah sehingga dapat berdiri.

Rumput atau jerami dijadikan pelapis dasar lantai. Tiangnya terbuat dari kayu yang kuat dank eras agar kuat menyangga beban rumah.

Rumah ini hanya memiliki satu pintu tanpa disertai jendela. Secara keseluruhan, tinggi rumah ini hanya mencapai 2,5 meter dan luasnya hanya 5 meter saja. Tidak terlalu besar bahkan cenderung sempit. Jika dilihat dari pemandangan, rumah ini memiliki bentuk seperti jamur raksasa.

Bentuk atapnya yang tersumbat untuk mengurangi hawa dingin yang mendekati rumah dan agar air hujan dapat segera turun tanpa harus membasahi dinding rumah. Atap ini terbuat dari tumpukan daun sagu, jerami kering, atau ilalang.

Ilalang atau jerami yang digunakan sebagai atap rumah mungkin saja terlihat rapuh dan lemah. Namun tajamnya ujung ilalang memberikan makna orang Papua adalah orang-orang yang mandiri, kritis, kuat, dan mudah menyesuaikan diri.

Di dalam rumah Honai, Suku Dani tidak menyediakan kursi, sofa, atau semacam tempat duduk lainnya. Jika ada tamu, maka tamu tersebut duduk di atas alas rumput atau jerami bersama tuan rumah. Tujuannya adalah untuk membentuk kebersamaan.

Ukuran rumah Honai yang sempit bukan tanpa alasan. Pasalnya, rumah ini pada umumnya berada di pegunungan Papua yang memiliki hawa dingin. Oleh karena itu, rumah ini dibuat pendek dan sempit agar dapat menahan dinginnya hawa di sana. Agar suhu di dalam rumah semakin hangat, di tengahnya terdapat tempat pembakaran api unggun.

Keunikan rumah adat Papua satu ini bukan hanya dari segi bentuknya, melainkan juga dari fungsinya. Siapa yang membayangkan bahwa rumah mungil ini terdiri dari dua lantai? Masing-masing lantai mempunyai fungsi yang berbeda-beda.

Lantai pertama biasanya digunakan sebagai tempat tidur. Sementara jika ingin bersantai, makan, dan melakukan aktivitas keluarga lainnya, pemilik rumah akan naik ke lantai dua.

Jika malam hari tiba, maka rumah akan menjadi gelap. Adanya tempat pembakaran di tengah-tengah rumah lantai pertama juga menjadi sumber penerangan.

Selain dijadikan tempat tinggal, rumah adat Papua ini juga digunakan untuk menyimpan berbagai peralatan berburu maupun perang, menyusun strategi perang, menyimpan segala macam simbol dan peralatan yang telah diwariskan oleh para leluhur, bahkan hingga menyimpan jenazah yang telah menjadi mumi. Tak jarang pula, anak laki-laki berlatih di rumah ini agar saat dewasa menjadi pria yang kuat dan dapat melindungi sukunya.

Rumah ini biasanya didirikan secara berkelompok. Jika Anda menemukan satu rumah Honai, maka bisa dipastikan di wilayah tersebut akan ada rumah Honai lainnya. Hal ini karena sebuah keluarga membutuhkan lebih dari satu rumah untuk tempat tinggal sejumlah anggota keluarga. Siapa orang yang bisa tinggal di dalamnya? Bisa lima sampai sepuluh orang.


2. Rumah Ebei.



Rumah Ebei memiliki bentuk yang sama dengan rumah Honai. Satu hal mendasar yang membedakannya adalah siapa yang menempatinya. Rumah Ebei ditempati oleh para perempuan dewasa. Namun demikian, anak laki-laki yang belum beranjak dewasa diperbolehkan tinggal di rumah ini untuk beberapa saat. Setelah mereka dewasa, mereka diharuskan pindah ke rumah Honai.

Kata Ebei terdiri dari dua kata, yakni Ebe dan Ai. Ebe artinya tubuh dan Ai berarti perempuan. Secara Bahasa, rumah Ebei berarti tubuh perempuan. Maksudnya adalah perempuan merupakan tubuh kehidupan bagi setiap orang sebelum dilahirkan di dunia.

Di rumah ini, perempuan yang beranjak dewasa dan siap menikah akan diajari berbagai macam hal agar siap menjadi istri sekaligus ibu yang baik. Di rumah ini juga, para wanita Papua melakukan berbagai macam aktivitas seperti membuat kerajinan tangan, memasak, menjahit, dan lain-lain.

Rumah ini memiliki beberapa filosofi penting bagi masyarakat Papua. Rumah Ebei yang berbentuk lingkaran seolah menandakan bahwa suku Dani (yang membangun rumah Ebei dan Honai) memiliki kesatuan dan kesatuan yang kokoh. Kesolidan kesatuan dan kesatuan di antara mereka menjadikan mereka sehati dan memiliki satu pemikiran yang sama-sama dalam menjalankan aktivitas sehari-hari. Terakhir, rumah ini merupakan simbol bagi suku Dani untuk menunjukkan harkat dan martabat mereka.


3. Rumah Hunila.


Rumah adat Papua selanjutnya adalah rumah Hunila yang juga berada di daerah keberadaan suku Dani. Jangan kaget ya, Grameds. Rumah ini mempunyai ukuran yang sangat panjang dan lebih luas. Di dalamnya berisi banyak macam bahan makanan dan peralatan masak.

Celana saja karena rumah Hunila dijadikan sebagai dapur umum. sama dengan dapur umum lainnya, tempat tersebut menjadi pusat produksi makanan untuk seluruh silimo dan beberapa rumah Honai. Beberapa rumah Honai dan Ebei biasanya memiliki satu rumah Hunila yang digunakan bersama.

Bahan makanan yang sering dimasak oleh para wanita Papua adalah sagu dan ubi (dibakar). Setelah memasak, makanan akan diantar ke keluarganya masing-masing dan Pilamo.


4. Rumah Wamai.


Masih rumah adat yang dibangun oleh suku Dani, rumah Wamai termasuk salah satu rumah adat Papua. Banyaknya macam rumah yang dibangun oleh suku Dani menunjukkan bahwa suku ini sudah mempunyai kehidupan yang terstruktur.

Sebelumnya kita sudah membahas Rumah Honai khusus untuk laki-laki dewasa, Rumah Ebei khusus untuk perempuan dewasa, dan Hunila yang digunakan sebagai dapur umum. Karena kehidupan suku Dani yang terstruktur tersebut mereka memiliki rumah tersendiri yang difungsikan sebagai kandang hewan ternak. Beberapa hewan yang sering dimasukkan ke dalam rumah Wamai adalah ayam, kambing, babi, dan anjing.

Jika diperhatikan dari luar, rumah Wamai mirip dengan rumah Honai. Namun demikian, dinding rumah Wamai tidak semuanya melingkar. Beberapa sumber menyebutkan, terkadang dinding rumah ini berbentuk persegi atau persegi panjang. Ukurannya pun juga tidak sama antara satu rumah dengan lainnya. Bentuk dan ukuran yang fleksibel tersebut untuk menyesuaikan dengan banyaknya ternak yang ingin ditampung di dalam rumah tersebut.


5. Rumah Kariwari.


Kali ini kita beralih ke rumah adat suku lainnya, yakni suku Tobati-Enggros. Rumah Kariwari namanya. Memang tidak bisa dipungkiri rumah adat Papua memiliki keunikan yang menarik untuk digali.

Rumah adat Papua yang satu ini memiliki atap yang berbentuk limas segi delapan. Bahkan sampai bertingkat tiga. Bentuk segi delapan memiliki beberapa arti. Pertama, bentuk segi delapan tersebut dipercaya dapat memperkuat rumah tersebut dari segala macam cuaca. Apalagi di saat hawa dingin dan angin berhembus kencang. Kedua, bentuk segi delapan yang titik lancip tersebut untuk melambangkan kedekatan manusia dengan Tuhan dan para leluhur yang telah mendahului.

Namun jangan salah, rumah ini bukan untuk dijadikan tempat tinggal masyarakat Papua. Bukan pula untuk rumah kepala suku. Apalagi rumah ini tidak memiliki fungsi hukum maupun politik. Rumah ini dibangun untuk tujuan pendidikan dan ibadah. Maka tidak heran jika rumah ini menjadi tempat sakral dan suci bagi suku Tobati-Enggros.

Rumah ini umumnya dibangun di dekat Teluk Yotefa dan Danau Sentani, Jayapura. Karena lokasinya yang dekat dengan garis pantai tersebut, rumah adat Papua ini dibangun tegak lurus dengan gelombang air laut.

Selain itu, rumah Kariwari dibangun dengan pola linier secara sejajar yang susunannya dua baris rumah menghadap dan berjejer di sepanjang pantai. Untuk alasan keamanan dan kedekatan hubungan keluarga, jarak antara satu rumah dengan rumah lainnya diatur tidak terlalu jauh.

Dengan ketinggian rumah 20-30 meter, rumah ini dibagi menjadi tiga tingkat yang masing-masing tingkat memiliki satu ruangan. Lantai pertama digunakan untuk mendidik remaja laki-laki agar siap menjadi laki-laki dewasa yang bertanggung jawab, terampil, dan kuat. Jika anak laki-laki telah memasuki usia minimal yaitu dua belas tahun, mereka dikumpulkan dan dikader bagaimana mencari nafkah, berperan bertanggung jawab pada keluarga, memiliki hidup yang mandiri, berburu, memahat, membuat senjata, teknik memainkan, kebetulan memasang, dan lainnya.

Lantai kedua digunakan untuk pertemuan para kepala suku atau tokoh adat untuk membicarakan sesuatu yang penting. Sementara lantai ketiga digunakan khusus untuk sembahyang dan mengumpulkan selaksa doa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dan para leluhur.

Rumah Kariwari ini dibuat dari kayu dan daun dari pohon sagu, bambu, kayu besi, atau pohon lainnya yang banyak dijumpai di tanah Papua. Sementara itu, kerangka utama rumah yang terbuat dari kayu-kayu tersebut dibatasi menggunakan tali rotan pilihan. Yang menakjubkan, kerangka rumah ini hanya memerlukan delapan kayu.


6. Rumah Rumsram.


Rumah adat selanjutnya adalah rumah Rumsram yang dibangun oleh suku Biak Numfor di kawasan pantai utara Papua. Jika Grameds perhatikan, atap rumah adat Papua yang satu ini berbentuk seperti perahu yang terbalik. Desain ini dipengaruhi oleh profesi mereka yang kebanyakan sebagai pelaut.

Rumah ini bukan untuk ditinggali, namun digunakan sebagai tempat untuk mendidik anak laki-laki yang dianggap sudah dapat berpikir. Biasanya saat seorang anak laki-laki berusia enam sampai delapan tahun, ia akan diberi pendidikan Rumsram yang dilakukan di rumah Rumsram.

Pendidikan ini dilakukan agar anak laki-laki siap menjadi laki-laki dewasa yang bertanggung jawab, mandiri, kuat, dan siap menjadi kepala keluarga. Pelajaran yang diberikan seperti membuat perahu, membuat perisai, teknik menari, memahat, dan lainnya. Oleh karena itu, para wanita tidak diperbolehkan masuk ke dalam rumah ini.

Dari segi konstruksi, tinggi rumah ini mencapai enam sampai delapan meter dengan terbagi menjadi dua lantai. Di lantai pertamalah, diselenggarakan Rumsram pendidikan untuk laki-laki. Di lantai tersebut mereka bisa belajar dengan bebas karena ruangannya terbuka dan tanpa dinding pembatas.

Dinding rumah ini terbuat dari bambu air dan pelepah sagu sementara lantainya dilapisi kulit kayu. Atap yang berbentuk perahu terbalik tersebut dibuat dari bahan daun sagu yang telah dikeringkan.

Rumah adat ini sedang diupayakan untuk lestari oleh pemerintah daerah setempat. Salah satu contoh yang menjadi bukti keseriusan pemerintah setempat adalah adanya rencana untuk menerbitkan Peraturan Gubernur (Perbup) yang mewajibkan gedung pemerintah dan swasta beratapkan perahu terbalik.


7. Rumah Pohon.


Suku pedalaman Papua juga memiliki rumah adat tersendiri yang unik. Adalah suku Korowai yang kita maksud. Dengan menyesuaikan kondisi alamnya, mereka membuat rumah di atas dahan pohon yang terletak pada ketinggian 15-50 meter. Yang takut sama ketinggian, perlu berfikir ulang deh untuk naik ke atas sana.

Ancaman serangan binatang buas dan makhluk ghaib yang jahat bernama Laleo, memaksa suku Korowai berpikir mendalam bagaimana caranya dapat melindungi dari ancaman-ancaman yang tidak diinginkan tersebut.

Perlu diketahui, Laleo merupakan makhluk jahat yang diyakini memiliki bentuk seperti mayat hidup dan berkeliaran di malam hari. Suku Korowai percaya, semakin tinggi rumah mereka, semakin aman dari gangguan roh jahat.


8. Rumah Kaki Seribu.


Adalah suku Arfak yang banyak tinggal di Kabupaten Manokwari yang membangun rumah adat ini. Dijuluki rumah Kaki Seribu karena rumah ini memiliki tiang penyangga di bawah rumah dalam jumlah yang sangat banyak. Sekilas akan mirip seperti hewan kaki seribu. Kata seribu dianggap sudah dapat mewakili arti “banyak”.

Luas rumah ini sekitar 8 x 6 meter dengan ketinggian 1-1,5 meter dari permukaan tanah. Dengan ketinggian tersebut, rumah ini dianggap aman dari serangan hewan buas. Untuk mengurangi hawa dingin di sekitar daerah setempat, rumah ini disiasati tidak memiliki jendela. Sehingga udara hanya dapat masuk melalui pintu.

Jenis rumah ini adalah rumah panggung yang khas dengan corak Manokwari. Rumah juga disebut sebagai Mod Aki Aksa (Igkojei) dalam Bahasa lokal. Saat ini rumah pohon diharapkan banyak orang untuk masuk ke dalam daftar UNESCO.


Kenapa Kecoak Mati Dengan Keadaan Terbalik?





Kecoak adalah jenis serangga yang susah mati, bahkan tanpa kepala, kecoak masih bisa hidup. Namun, saat tubuh kecoak dalam posisi terbalik, dia bisa mati. Posisi terbalik membantu kecoak untuk bertahan hidup sedikit lebih lama sebelum akhirnya mati.

Posisinya yang terbalik membuat kecoak mendapatkan udara lebih banyak saat cairan insektisida disemprotkan padanya.

Kandungan cairan insektisida dapat mempengaruhi sistem saraf kecoak, dan menyebabkan beberapa enzim berkumpul di tubuh mereka. Kondisi itu akhirnya membuat kecoak mengalami kejang otot dan tidak mampu lagi mempertahankan posisi tubuhnya dengan normal.

Lantaran serangga seperti kecoak memiliki tubuh besar yang ditopang enam kaki panjang dan kurus, akhirnya tanpa sadar mereka terungkap ke belakang saat akan mati.

Faktanya, tidak semua kecoak mati dengan posisi terbalik. Sebab, hanya kecoak yang dibunuh menggunakan insektisida saja yang mati dengan posisi punggung di bawah dan kaki di atas.

Seperti dilansir dari Science ABC, Selasa (4/1/2022) kecoak akan kesulitan untuk memperbaiki dirinya saat berada pada posisi terbalik. Tanpa koordinasi otot atau apa pun untuk dipegang, kecoak biasanya berakhir mati terbalik. Kecoak juga tidak hanya mati karena insektisida saja, tetapi karena berbagai hal. Misalnya, di alam liar terdapat predator seperti tokek, kelelawar, laba-laba, dan kalajengking, bahkan mereka bisa mati karena kekurangan makanan dan nutrisi.

Menariknya, saat memasak dengan posisi terbalik menyentuh benda seperti sapu terkadang mereka akan kembali seperti semula dan melarikan diri.

Sama seperti hewan lainnya, seiring bertambahnya usia kecoak juga bisa mati. Hal ini disebabkan karena otot-otot yang mulai melemah, dan membuat mereka sulit untuk kembali ke posisi normal ketika terjatuh di permukaan yang licin. Kecoak merupakan hewan yang tangguh, karena mampu menahan napas selama 30 menit di udara. Di sisi lain, serangga yang memiliki antena ini mampu hidup tanpa kepala selama 10 hari. Sebab, mereka tidak terlalu banyak makan, dan dapat bernapas melalui sisi tubuhnya.


Wednesday, April 16, 2025

Sejarah Monas

 


Monumen Nasional (Monas) merupakan salah satu simbol kebesaran Indonesia dan salah satu landmark kebanggaan Jakarta. Pembangunan Monas pertama kali dilakukan pada tahun 17 Agustus 1961 oleh Presiden pertama RI, Ir. Sukarno.

Monas merupakan monumen peringatan dengan tinggi 132 meter atau 433 kaki, terletak di tengah Lapangan Medan Merdeka, Jakarta Pusat. Sebelumnya, nama awal Monas adalah Tugu Peringatan Nasional, dimaksudkan untuk mengenang perlawanan dan perjuangan rakyat Indonesia dalam merebut kemerdekaan melawan penjajah.

Ujung Monas dimahkotai dengan lidah api yang dilapisi emas seberat 72 kilogram. Hal ini sebagai simbol semangat perjuangan rakyat Indonesia yang menyala-nyala. Bentuk dan tata letak Monas yang unik dapat memberikan kesempatan kepada pengunjung untuk menikmati pemandangan yang indah.

Taman di sekitar Monas juga menampilkan pepohonan dari berbagai provinsi di Indonesia, menciptakan suasana lebih asri. Kolam air mancur yang terletak di lorong pintu masuk juga menambah kesejukan taman, sementara pesona air mancur yang bergoyang menambah daya tarik bagi masyarakat.


Sejarah Pembangunan Monas.

Sejarah Monas berawal dari perpindahan kembali ibukota dari Yogyakarta ke Jakarta pada tahun 1950. Presiden pertama RI, Ir. Soekarno, mulai menyusun rencana untuk merencanakan pembangunan Monas seperti menara Eiffel. Tujuan pembangunannya untuk mengenang perjuangan para pahlawan dan menginspirasi semangat patriotisme bagi generasi muda. 

Dalam pembangunannya, Monas dirancang oleh dua orang arsitek yaitu Frederich Silaban dan RM Soedarsono. Teknik pembuatan Monas pun mengikuti angka kemerdekaan yakni 17-08-1945. Namun, sebelum itu dilakukan sayembara mengenai rencana desain Monas hingga akhirnya terpilih dua arsitek tersebut.


Dilakukan Sayembara Desain

Pada tanggal 17 Agustus 1954, sebuah komite nasional dibentuk dan melakukan sayembara perancangan Monas yang diadakan pada tahun 1955. Dari 51 karya yang diikutsertakan, hanya satu desain, yaitu karya Frederich Silaban, yang dinilai memenuhi kriteria yang ditetapkan oleh komite. 

Sayembara kedua diadakan pada tahun 1960, namun dari 136 peserta yang berpartisipasi, tidak ada satupun rancangan yang memenuhi kriteria. Ketua juri kemudian meminta Frederich Silaban untuk menunjukkan rencananya kepada Presiden Soekarno.

Meski begitu, Soekarno kurang menyukai rencana Silaban dan menginginkan desain monumen berbentuk lingga dan yoni. Silaban kemudian diminta untuk merancang monumen dengan tema tersebut, namun desain yang terlalu ambisius dan memerlukan biaya yang sangat besar. 

Silaban menolak untuk merancang bangunan yang lebih kecil dan menyarankan agar pembangunan ditunda sampai kondisi ekonomi Indonesia membaik. Akhirnya, Soekarno meminta arsitek RM Soedarsono untuk melanjutkan rencana monumen tersebut. Kemudian, Soedarsono memasukkan angka 17, 8, dan 45 ke dalam desainnya, melambangkan tanggal 17 Agustus 1945, hari Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.


Arti Lambang Monas.

Tugu Monas memiliki ujung berwarna emas untuk melambangkan lidah api yang terus menyala dan tak kunjung datang padam. Bangunan Monas menjulang tinggi memiliki falsafah Lingga Yoni yang berbentuk “alu” sehingga lingga dan “lumpang” menjadi Yoni. Alu dan Lumpang merupakan dua peralatan penting yang dimiliki oleh setiap keluarga di Indonesia, khususnya di pedesaan. 

Sementara itu, Lingga dan Yoni adalah simbol kuno yang melambangkan kehidupan abadi, di mana Lingga melambangkan unsur positif dan Yoni melambangkan unsur negatif. Simbol ini menggambarkan adanya keseimbangan antara berbagai dualitas dalam kehidupan, seperti siang dan malam, laki-laki dan perempuan, serta baik dan buruk, yang mencerminkan keabadian alam semesta.


Wisata Monas Saat Ini.

Saat ini, Tugu Monas juga menjadi salah satu destinasi wisata favorit, tidak hanya masyarakat Jakarta tapi juga seluruh Indonesia. Anda bisa melakukan berbagai aktivitas saat mengunjungi Monas. Beberapa kegiatan dapat Anda lakukan seperti naik ke puncak Monas, Anda bisa mengunjungi atas Monas dengan lift untuk melihat pemandangan di Jakarta. Terdapat dua jam buka jika Anda ingin mengunjungi Monas, pada siang atau malam hari dengan kuota terbatas. 

Selain itu, di Monas terdapat Museum yang bisa menjadi wisata edukasi. Tentunya akan memperkaya pemahaman dan pengetahuan mengenai sejarah perjuangan bangsa. Di setiap sisi museum terdapat 12 diorama (jendela peragaan) yang menampilkan sejarah Indonesia dari zaman nenek moyang. Luas museum ini sekitar 80x80 meter persegi.

Legenda Telaga Menjer yang Belum Diketahui Oleh Banyak Orang

Legenda Telaga Menjer yang Belum Diketahui Oleh Banyak Orang





Telaga Menjer yang ada di Desa Maron, Kecamatan Garung, Wonosobo, telaga ini terkenal memiliki panorama alam yang sangat mempesona.

Tidak sedikit orang yang bila menjelaskan Telaga Menjer ini hampir mirip dengan Danau Bedugul yang ada di Bali.

Telaga ini berada di 1300 mdpl dengan luas 70 hektar dengan kedalaman 45 meter.
Telaga Menjer memiliki nuansa alam yang tenang dan asri, konon kabarnya telaga ini sebuah danau yang cukup luas yang terletak di kaki pegunungan Dieng.

Karena berada diketinggian cukup tinggi, suhu di Telaga Menjer cukup sejuk dengan rata-rata 22 hingga 27 derajat celcius.

Untuk sejarahnya Telaga Menjer terbentuknya dampak letusan Gunung Pakuwaja dikawasan Dieng yang dahulu masih aktif.

Menurut informasi secara kontur Telaga Menjer memiliki bentuk kerucut, dimana semakin ke dalam bentuknya maka semakin lancip.

Sebelum terjadi letusan gunung berapi tersebut, tempat ini konon hanya berupa mata air kecil.

Telaga Menjer semakin membentang luas dan jauh lebih dalam karena telah dibangun bendungan yang dikelola oleh perusahaan Pembangkit Listrik.

Bendungan Telaga Menjer kabarnya sudah ada dibangun sejak zaman penjajahan Belanda, meskipun sebuah bangunan bersejarah yang berumur cukup lama bendungan ini masih berdiri kokoh dan masih berfungsi sampai sekarang.

Namun ternyata dibalik berbagai keindahan dan ketenangannya, Telaga Menjer menyimpan mitos-mitos dengan kesan misteri.

Nama Telaga Menjer sendiri konon muncul dari dua nama desa yang berada di lokasi tersebut yaitu Desa Telogo dan Desa Menjer.

Menurut legenda, awalnya telaga ini adalah sebuah danau vulkanik yang pada zaman sebelum kemerdekaan, Telaga Menjer menjadi sebuah rujukan terapi trauma warga sipil Belanda yang menjadi tahanan sipil Jepang.

Namun, dengan cerita yang berkembang tak sampai disitu, cerita-cerita dijaman dulu pun kemudian mengumpulkan mitos lain dari Telaga Menjer.

Salah satunya adalah tentang keberadaan sebuah gua yang berada di bagian barat telaga, masyarakat menyebutgua ini dengan sebutan Songkamal.

Gua tersebut cukup tersembunyi karena tertutup tiga batu besar yang menyatu dengan pohon besar dilokasi tersebut.


Konon jika batu besar itu diangkat maka akan terlihat mata air yang berada di dalam lekukan seperti sebuah bar yang luasnya kurang lebih 3 meter persegi.

Konon katanya banyak pengunjung yang sengaja datang ke gua tersebut hanya untuk meminum air yang berasal dari mata air itu.

Katanya, mata air tersebut dapat menyembuhkan berbagai jenis penyakit, dan menurut cerita jika seseorang yang mengambil air dimata air tersebut dapat melihat permukaan airnya tinggi itu menadakan sebuah kebaikan akan datang kepadanya

Namun sebaliknya jika air terlihat surut berarti ia akan mendapatkan hal yang buruk atau sesuatu yang perlu diwaspadai.

Konon banyak orang yang datang hanya untuk mengambil air dari gua kamal, karena dipercaya akan mendatangkan rejeki dan membuat awet muda.

Dan ada kepercayaan lagi yang mengatakan jika permukaan air telaga sedang tinggi maka kehidupan warga sekitar akan makmur.

Namun sebaliknya apabila permukaan airnya sedang rendah, maka akan terjadi kekeringan dan warga akan mengalami kesulitan.

Kemudian, mitos yang paling santer di Telaga Menjer adalah bahwa telaga ini dapat membuat siapa pun pasangan yang datang secara keseluruhan akan kandas.

Bukan hanya sekedar mitos yang berkembang, ternyata ada cerita dibalik mitos tersebut.


Konon berkata dahulu kala, ada sepasang kekasih yang hendak mengakhiri hubungan mereka sepulang dari telaga tersebut.

Salah seorang dari pasangan tersebut kemudian mengajak pasangannya ke telaga ini untuk mengakhiri hubungan itu.

Menurut cerita pasangan yang ingin mengakhiri hubungan itu, memilih untuk datang ke tempat yang indah untuk mengutarakan maksudnya.

Konon preferensi agar mengurangi rasa sakit karena hubungan yang terputus, berangkat dari cerita tersebut mitos tentang hubungan akan kandas di tlaga ini pun kemudian tersiar dari mulut kemulut.

Hingga semakin melekat dan dipercaya oleh banyak masyarakat, namun ternyata bukan hanya mitos itu yang membalut telaga indah ini.

Konon banyak pengunjung yang sering melihat penampakan sosok manusia yang berjalan di atas telaga tanpa menggunakan perahu atau kendaraan udara lainnya.


Banyak yang beranggapan bahwa sosok gadis tersebut adalah sebuah jelmaan dari yang tenggelam di Telaga Menjer dan tidak kembali lagi kedaratan.

Konon ada yang pernah melihat sosok ikan besar berukuran raksasa, namun saat didekati ikan tersebut menghilang benar-benar tanpa jejak.

Beberapa orang beranggapan bahwa ikan besar yang muncul tersebut merupakaan jelmaan dari seekor kepiting raksasa yang hilang di telaga itu.

Menurut legenda dijaman dahulu ada dua orang gadis yang sedang mengumpulkan sayuran di ladang.

Mereka datang oleh seekor kepiting raksasa, bukannya menjauh dan pergi, mereka malah yakjub dan ingin mendekatinya.

Karena kekaguman yang dirasa oleh salah seorang gadis itu lalu mendekat dan mengusap kepiting itu dengan lembut.

Dan kemudian ia mulai mengusap punggung kepiting, tiba-tiba hilang dari pandangan, belum hilang dari rasa penasarannya tiba-tiba dari tempat mereka berdiri muncul sebuah lubang yang kian lama kian melebar.

Kedua gadis itu pun lari sekencang-kencangnya, namun sayang langkah mereka tak cepat melebarnya lubang tersebut.

Mereka pun jatuh terperosok dan keduanya tenggelam di lubang yang kini menjadi telaga menjer.

Rumah Adat di Papua

Keunikan budaya Papua tidak hanya terletak pada pakaian adatnya. Rumah adat asli Papua juga memiliki keunikan tersendiri. Sama ciri khasnya,...